LOMBOK INFO – Sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang melimpah, masyarakat Dusun Batu Kumbung, Desa Batu Kumbung Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat menggelar acara Roah Adat atau biasa juga disebut Roah Gubug (Selamatan Desa).
Upacara selamatan desa ini biasa digelar sekali setahun setelah purnama pada bulan ke tujuh dalam penanggalan Suku Sasak, sepekan setelah pelaksanaan Upacara Pujawali dan Perang Topat di Pura / Kemalik Lingsar.
Ritual adat yang intinya berupa pembacaan doa bersama yang dilaksanakan pada Hari Jum’at sore (16/12) kemarin itu merupakan tradisi turun temurun yang sudah dilakukan sejak ratusan tahun lalu oleh masyarakat Dusun Batu Kumbung yang mayoritas bekerja sebagai petani.
Petilasan Pancor Denek adalah situs peninggalan seorang tokoh yang dianggap berjasa bagi masyarakat Dusun Batu Kumbung dalam proses pembangunan desa sekaligus telah mengajarkan masyarakat dengan ajaran Islam beberapa ratus tahun silam.
Tokoh pemimpin masyarakat sekaligus penyebar Agama Islam yang dikenal dengan sebutan Pating Laga Denek Prawangsa ini dipercaya berasal dari Timur Tengah, tepatnya negeri Yaman, dan memiliki nama asli Sayid Abdullah Zen Alhamid.
Petilasan yang masih tetap dirawat oleh masyarakat Dusun Batu Kumbung itu berupa sebuah cungkup, di mana di dalamnya terdapat sebuah batu menhir yang diyakini sebagai tempat sang tokoh berkhalwat.
Di sebelah cungkup terdapat mata air yang sudah dibuatkan pancuran dari bambu, kemudian di sisi yang lain terdapat sebuah musholla dan bangunan setengah terbuka tempat masyarakat duduk berkumpul melaksanakan kegiatan Roah Adat tersebut.
Menjelang waktu Asyar masyarakat Dusun Batu Kumbung berbondong-bondong menuju lokasi acara. Para perempuan membawa nampan berisi berbagai makanan untuk dimakan bersama seusai pembacaan doa bersama.
Nampan atau dulang yang disebut Dulang Pesaji itu tidak hanya berisi nasi dan lauk-pauk, tetapi juga beberapa jajanan tradisional dan buah-buahan. Kesemuanya disusun rapi menjadi satu.
Selain itu mereka juga membawa botol atau bejana untuk mengambil air dari mata air yang ada di area petilasan.
Setelah berkumpul, seorang pemuka agama memimpin pembacaan dzikir dan langsung dilanjutkan dengan pembacaan doa, dengan harapan desa mereka dijauhkan dari segala kesusahan, mara bahaya, dan pertanian mereka memberikan hasil panen yang mencukupi.
Setelah selesai pembacaan doa pemuka agama yang memimpin upacara itu membuka berbagai pusaka peninggalan Denek Prawangsa untuk menujukkan bahwa pusaka dari tokoh leluhur yang mereka hormati masih terjaga dan terawat dengan baik.
Benda-benda pusaka itu antara lain adalah sebuah Al-Qur’an tulisan tangan, satu naskah Khotbah Jum’at yang ditulis di atas kulit unta yang dibawa dari negeri asal Denek Prawangsa, beberapa lembar kain baik yang biasa dipakai keseharian maupun untuk upacara adat dan keagamaan, dan beberapa naskah lontar.
Masyarakat dan para tamu undangan yang hadir sangat antusias melihat dibukanya benda-benda pusaka tersebut. Mereka pun menunjukkan kekagumannya pada benda-benda bersejarah itu.
Selesai benda-benda pusaka itu ditutup kembali pada tempatnya, Dulang Pesaji pun dihidangkan, dan acara begibung (makan bersama) pun dimulai.
Sebagaimana kebiasaan masyarakat Suku Sasak dalam acara makan bersama atau yang dikenal dengan istilah begibung ini, tiga atau empat orang akan menyantap hidangan bersama-sama dari satu dulang, tanpa menggunakan piring lagi.
Ketika menyantap hidangan para tamu dipersilahkan mengawali dengan meminum satu dua teguk air dari mata air yang terdapat di situs petilasan tersebut, sebagai bentuk penghormatan terhadap Denek Prawangsa sekaligus ajakan untuk turut serta menjaga mata air yang memberi banyak kemanfaatan pada warga masyarakat tersebut.
Setelah selesai makan bersama seluruh rangkaian acara pun berakhir. Para perempuan membawa kembali makanan yang tidak habis, untuk disantap bersama keluarga di rumah.
Begitu pula dengan botol-botol air dari mata air di petilasan, dibawa pulang untuk disiramkan pada tanaman-tanaman mereka sebagai wasilah dari doa yang telah dipanjatkan untuk kesuburan dan keberhasilan panen pada musim berikutnya.**