Cakranegara yang saat ini dikenal sebagai kawasan perdagangan di Kota Mataram pada sekitar pertengahan abad 17 hingga akhir abad 19 merupakan ibukota atau pusat pemerintahan dari Kerajaan Karangasem Lombok atau dikenal juga sebagai Kerajaan Mataram.
Sejarah berubah ketika terjadi invasi tentara kolonial Hindia Belanda ke Lombok pada tahun 1894 dan terjadi perang besar di Mataram yang berakhir dengan kekalahan Kerajaan Karangasem Lombok.
Perang tersebut telah meluluhlantakkan Kota Mataram dan Cakranegara, termasuk istana / Puri Ukir Kawi yang merupakan tempat tinggal raja.
Beberapa catatan menyebut setelah pasukan yang menyerbu Cakranegara tersebut mengambil dan mengumpulkan barang-barang berharga yang berserakan di antara puing-puing reruntuhan , maka reruntuhan bangunan istana yang tersisa itupun dibakar habis hingga rata dengan tanah.
Ali Akbar, pemerhati sejarah Lombok yang juga anggota Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) NTB memiliki catatan yang cukup menarik berdasarkan sumber-sumber yang terpercaya tentang Puri Ukir Kawi yang merupakan tempat tinggal raja terakhir dari dinasti Karangasem di Lombok ini.
Dalam catatannya, antara lain menyebut Dokter Julius Karel Jacobs yang mengisahkan dalam Eenigen tijd onder de Baliërs (1883) bahwa Puri Ukir Kawi ini sangat luas dan membutuhkan waktu 30 menit untuk berjalan mengelilingi temboknya.
Masih menurut Dokter Jacobs, bangunan Puri Ukir Kawi terlihat sangat megah dengan lapangan yang begitu luas di depannya. Di malam hari, puri dan jalanan di sekitarnya bermandikan cahaya lentera sehingga menimbulkan imajinasi yang luar biasa. Orang akan merasa dirinya tengah berada pada sebuah kota di Eropa.
Kemudian pada bagian lain disebutkan, Wouter Cool Dalam De Lombok Expeditie (1896) menggambarkan denah Puri Ukir Kawi lengkap dengan penjelasannya. Denah tersebut dengan cukup detil menjelaskan bagian-bagian istana lengkap dengan nama dan fungsinya masing-masing.
Selain penamaan bagian-bagian istana yang sesuai kaidah tata ruang dalam adat dan kepercayaan Hindu–Bali juga terdapat penamaan dengan mengambil berbagai nama tempat atau kota di berbagai penjuru nusantara bahkan dunia.
Ada ruangan Betawi tempat menyimpan barang-barang keperluan raja. Ada bangunan bernama Trangganu yang merupakan tempat tinggal salah satu istri raja. Ada ruangan untuk para pembekel yang disebut Papua, juga ruangan tempat tinggal salah satu cucu raja yang beragama Islam, Datu Pangeran, yang dinamai Stambul.
Tetapi nama-nama bangunan atau ruangan tersebut saat ini tidak satu pun yang tersisa untuk bisa dikenali. Area seluas hampir 3 hektare itu sekarang dipenuhi dengan bangunan-bangunan komersial seperti pertokoan, kantor, juga sekolah dan rumah tinggal.
Salah satu dari sedikit peninggalan yang masih tersisa sebagai bukti eksistensi Kerajaan Karangasem Lombok adalah Taman Mayura, taman air yang saat ini menjadi salah satu destinasi wisata di Kota Mataram dan keberadaannya dilindungi sebagai situs cagar budaya.