LOMBOK INFO – Salah satu obyek wisata yang cukup menarik bagi pengunjung Desa Wisata Batu Kumbung, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat adalah Situs Petilasan Pancor Denek. Setiap tahun di area petilasan ini, masyarakat Dusun Batu Kumbung menggelar ritual selamatan desa atau dikenal dengan sebutan Roah Adat/ Roah Gubug.
Situs Petilasan Pancor Denek adalah peninggalan seorang tokoh mubalig yang diyakini berjasa besar bagi masyarakat dalam proses pembangunan desa serta penyebaran dan pengajaran Agama Islam di Desa Batu Kumbung beberapa ratus tahun silam.
Tokoh mubalig sekaligus pemimpin masyarakat ini dikenal dengan sebutan Pating Laga Denek Prawangsa, yang berasal dari Yaman, Timur Tengah dan memiliki nama asli Sayid Abdullah Zen Alhamid.
Di dalam area petilasan seluas kurang lebih 8.700 meter yang masih terawat dengan baik ini terdapat sebuah cungkup, di mana di dalamnya terletak sebuah batu menhir yang diyakini sebagai tempat sang mubalig biasa berkhalwat.
Di sebelah cungkup terdapat mata air yang sudah dibuatkan pancuran dari bambu, kemudian di sisi yang lain terdapat sebuah musholla dan bangunan setengah terbuka tempat masyarakat duduk berkumpul melaksanakan kegiatan Roah Adat tersebut.
Selain petilasan, di dusun ini juga tersimpan beberapa benda yang diyakini sebagai peninggalan dari sang tokoh, seperti sebuah Al Qur’an tulisan tangan dan satu naskah Khotbah Jum’at yang ditulis di atas kulit unta yang dibawa dari negeri asalnya.
Selain itu juga terdapat naskah-naskah kuno yang ditulis di atas daun lontar (takepan), dan juga beberapa lembar kain, baik yang biasa dipakai keseharian maupun untuk upacara adat dan keagamaan.
Belum bisa dipastikan pada era kapan tokoh penyebar Islam yang dari namanya menandakan bahwa dirinya termasuk keturunan Rasulullah itu menjalankan aktifitasnya di Desa Batu Kumbung.
Masyarakat Desa Batu Kumbung hanya menyakini bahwa tokoh yang sangat mereka hormati ini hidup pada jaman sebelum Anak Agung (Dinasti penguasa trah Karang Asem Bali) berkuasa di Lombok.
Terkait hal di atas terdapat analisa menarik dari Ahmad Sugeng, seorang penggiat Sejarah Lombok. Pada grup percakapan kelompok penggiat Sejarah Lombok bernama Lombok Heritage Science & Society (LHSS), Ahmad Sugeng yang akrab disapa Gegen memperkirakan tokoh tersebut hidup pada sekitar akhir abad tujuh belas.
Beberapa dasar analisanya antara lain, gelar Denek dalam banyak referensi adalah gelar yang dihasilkan jika seorang laki-laki bergelar Raden menikahi seorang perempuan yang merupakan anak dari seorang Datu (pemimpin satu daerah tertentu di Lombok).
Sementara gelar Raden sendiri dibawa atau melekat pada orang-orang dari Jawa, penyebar Islam yang banyak datang ke Lombok sejak sekitar tahun 1500an dengan misi menyebarkan Agama Islam di Pulau Lombok.
Kelompok ini berangkat dari dua asal daerah yang berbeda, yakni dari Demak dan Giri. Kelompok dari Demak dipimpin oleh Raden Wijaya Prana, sementara dari Giri dipimpin oleh Sunan Prapen. Beberapa mubalig dari kedua kelompok ini adalah golongan Sayid (Keturunan Rasulullah Muhammad SAW dari Timur Tengah).
Kemudian menilik bentuk dari warisan berupa Al Qur’an yang bertuliskan tangan, benda semacam ini juga ditemukan di Pohgading, Jerowaru, Ketangga dan beberapa daerah lainnya di Lombok, yang merupakan jejak para mubalig yang berasal dari Demak.
Data di Jerowaru dan Pohgading menyebut kedatangan para mubalig dari Demak ini berlangsung pada tahun 1518.
Analisa terakhir terkait dengan nama Pating Laga Denek Prabangsa, nama ini hampir sama dengan salah satu tokoh generasi ke empat dari mubalig Demak yang ada di Lombok, yaitu Pating Laga Denek Wirabangsa.
Dalam catatan anak keturunannya, Pating Laga Denek Wirabangsa ini hidup sekitar akhir abad ke tujuh belas atau tahun 1600an.
Hal ini sama dengan keyakinan masyarakat di Desa Batu Kumbung, bahwa Pating Laga Denek Prawangsa hidup pada era sebelum Anak Agung (Dinasti penguasa trah Karang Asem Bali) berkuasa di Lombok.
Berdasarkan banyak catatan sejarah yang ada, Kekuasaan Dinasti Karang Asem di Lombok berlangsung sejak awal abad delapan belas ( awal tahun 1700an), dan berakhir pada tahun 1894.
Terlepas dari kepastian sejarah di atas, yang lebih penting adalah pelestarian dari jejak-jejak peninggalannya sebagai kekayaan sejarah dan budaya masyarakat.
Kekayaan sejarah dan budaya ini menjadi salah satu ikon yang menjadikan Desa Wisata Batu Kumbung semakin menarik untuk dikunjungi.**