Pesanggrahan atau tempat peristirahatan yang sekarang dikenal sebagai penginapan Wisma Soedjono, cikal bakal terbentuknya Desa Tete Batu sebagai sebuah desa wisata. (pelopor.id)
Pesanggrahan atau tempat peristirahatan yang sekarang dikenal sebagai penginapan Wisma Soedjono, cikal bakal terbentuknya Desa Tete Batu sebagai sebuah desa wisata. (pelopor.id)

LOMBOK INFO – Jika kalian berkunjung ke Desa Wisata Tete Batu di Kabupaten Lombok Timur, kalian akan jumpai satu bangunan tua yang masih kokoh berdiri dengan anggun di tengah halaman yang cukup luas dengan pohon-pohon besar yang menyejukkan.

Selain menjadi tempat tinggal bangunan tua di Desa Wisata Tete Batu ini juga menyediakan kamar-kamar untuk disewakan bagi pengunjung yang ingin bermalam menikmati suasana asri khas pedesaan.

Bangunan itu dikenal sebagai Wisma Soedjono, yang bisa disebut sebagai perintis atau inspirator berdirinya banyak hotel dan penginapan di Desa Tete Batu, sekaligus menjadikannya sebuah desa wisata yang dikenal hingga ke banyak Negara sejak berpuluh tahun silam, bukan hanya saat ini.

Akan tetapi ternyata nama Soedjono tidak hanya diabadikan sebagai nama hotel di Tete Batu, melainkan juga menjadi nama rumah sakit Pemerintah Kabupaten Lombok Timur di Selong. Siapakah sosok yang bernama lengkap Dokter Raden Soedjono sesungguhnya?

Untuk mengetahui sosok dan kiprah dokter yang namanya abadi di masyarakat Lombok, khususnya Lombok Timur ini perlu kita tarik perhatian pada catatan sejarah ketika Pulau Lombok memasuki abad ke-20.

Tepatnya ketika kekuasaan kolonial Hindia Belanda mulai bercokol secara langsung di Pulau Lombok pasca terjadinya Perang Lombok 1894.

Setelah menghancurkan kekuasaan Mataram Karangasem pada tahun 1894, Pemerintah Hindia Belanda mulai menata cabang pemerintahan lokal. Pulau Lombok dibentuk sebagai sebuah afdeeling di bawah Residentie Bali en Lombok yang berpusat di Singaraja.

Selain menata pemerintahan, Afdeeling Lombok yang dikepalai oleh seorang asisten residen juga mulai membangun fasilitas pelayanan masyarakat seperti pendidikan dan kesehatan.

Untuk keperluan itu mulailah didatangkan pegawai-pegawai dari Jawa. Mereka dikaryakan sebagai pegawai administrasi pemerintahan maupun tenaga-tenaga kesehatan dan juga guru.

Sejak itulah muncul pusat-pusat pemukiman yang di kemudian hari dikenal sebagai Kampung Jawa, baik di Mataram, di Selong Lombok Timur maupun di Praya Lombok Tengah.

Dokter Raden Soedjono adalah salah satu tenaga kesehatan yang didatangkan dari Jawa dan ditempatkan di Selong.

Keturunan Bangsawan Jogja alumni Sekolah Dokter Stovia di Batavia (Jakarta sekarang) itu mulai manjalankan tugasnya di Selong pada tahun 1911 ketika masyarakat di Onderafdeeling Oost Lombok (Kabupaten Lombok Timur) banyak terjangkit wabah kolera.

Cukup berhasil dalam menjalankan tugasnya. Tapi karena sempat juga menghimpun masyarakat dalam kegiatan berbau politik yang dikenal sebagai Gerakan Sapuq Puteq, dokter yang sangat dekat dengan masyarakat ini pada tahun 1916 dipindahkan ke Jawa Timur.

Hanya dua tahun di Jawa Timur kemudian tahun 1918 kembali ditempatkan di Lombok Timur.

Mengenal Dokter Soedjono Perintis Pariwisata di Desa Wisata Tete Batu, Lombok Info
Dokter R. Soedjono bersama istri dan seorang tamunya, pada tahun 1930an. Gambar aslinya hitam putih, pewarnaan melalui proses editing (jejaklombok.com)

Di sela-sela kesibukannya melayani masyarakat, Dokter Soedjono membangun sebuah tempat peristirahatan atau pesanggrahan di Desa Tete Batu.

Selain bersama keluarga, ketika berada di pesanggrahan ini sering juga dia undang koleganya, baik yang pribumi maupun orang Belanda untuk datang berkunjung dan menginap menikmati kesejukan desa yang berada di sisi selatan kaki Gunung Rinjani ini.

Setelah mengakhiri tugasnya pada tahun 1933 ahli kesehatan yang juga gemar bertani ini menghabiskan masa pensiunnya di Desa Tete Batu.

Bahkan, salah satu kegiatannya adalah mengajari para petani di desa itu untuk bercocok tanam dengan cara yang lebih baik.

Akibat penyakit kencing manis yang dideritanya, dokter yang dicintai banyak masyarakat ini akhirnya meninggal dunia pada tahun 1944. Jenazahnya dikebumikan di Kompleks Pemakaman Bintaro, Ampenan.

Pesanggrahan yang ditinggalkannya kemudian menjadi tempat tinggal istri dan anak-anaknya. Beberapa tahun kemudian sering datang tamu dari Belanda yang ternyata adalah anak keturunan dari para sahabat sang dokter yang dulu sering datang berkunjung ke sana.

Berdasarkan pertimbangan itu terpikirlah untuk menambah jumlah kamar yang ada, dan sejak pertengahan tahun 1970an dibukalah tempat itu untuk melayani masyarakat umum yang datang. Mulailah dikenal sebagai Wisma Soedjono.

Belajar dari keberadaan Wisma Soedjono, pada tahun 1980an beberapa warga ikut membangun penginapan.

Sejak itu Desa Tete Batu semakin dikenal sebagai destinasi wisata yang kemudian juga berimbas pada desa tetangganya yakni Desa Kembang Kuning dan juga Desa Jeruk Manis. (BP)**

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here