Kuliah di Museum 3-4e35d6d4
Dua pemateri ,masing-masing Zulhakim (no.5 dari kiri) dan Profesor H. Jamaludin (no.8 dari kiri) berpose bersama sebagian peserta seusai acara Kuliah di Museum Negeri NTB, Rabu (21/8/2024)

Berbarengan dengan penyelenggaraan Pameran Sejarah Kerajaan Mataram Islam, pada Hari Rabu (21/8/2024) Museum Negeri NTB menggelar acara Kuliah di Museum dengan tajuk “Mataram dalam Dua Dimensi, Menelusuri Mataram Jawa dan Mataram Lombok”.

Forum yang menghadirkan dua orang pembicara,  yakni Profesor H. Jamaludin,  Guru Besar Sejarah dan Peradaban Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram dan Zulhakim, seorang penggiat Sejarah Lombok dan pengurus Komunitas LHSS (Lombok Heritage & Science Society) itu sangat menarik para penggemar sejarah di NTB.

Nampak hadir beberapa orang mahasiswa, jurnalis, seniman dan budayawan, dan masyarakat penggemar sejarah lainnya, yang sangat antusias mengikuti jalannya forum tersebut.

Dalam sambutan pembukaannya, Kepala Museum NTB, Achmad Nuralam mengungkapkan bahwa salah satu tujuan digelarnya forum kuliah di museum ini adalah untuk menjaga dan mengembangkan semangat kebangsaan dan penghargaan pada kebhinekaan yang menjadi salah satu pondasi penting kehidupan berbangsa di tanah air.

“Bicara sejarah bukan hanya bicara masa lalu, tetapi bagaimana kita menjadikan masa lalu itu pondasi untuk kehidupan yang lebih baik pada hari ini dan masa depan,” ujarnya.

Sementara kedua pembicara dalam paparannya menyampaikan hal yang senada, bahwa memang budaya di Lombok ini cukup banyak dipengaruhi oleh Budaya Jawa.

Akan tetapi sesungguhnya bukan hanya Jawa yang mempengaruhi, melainkan juga berbagai budaya dari beberapa suku bangsa lainnya, seperti Bugis, Bali, Melayu, Banjar, bahkan juga Cina dan Eropa.

Hal itu bisa terjadi karena Pulau Lombok ini walupun kecil, tetapi terletak pada posisi yang sangat strategis, yaitu di tengah perlintasan jalur pelayaran dari berbagai daerah, bahkan juga dari berbagai negara.

Sehingga sangat wajar jika Lombok dengan posisi strategisnya itu menjadi tempat persinggahan dan menjadi titik simpul bertemunya berbagai ragam budaya.

Salah satu buktinya adalah penggunaan berbagai bahasa dalam banyak penulisan manuskrip yang ditemukan di Lombok, seperti Bahasa Sansekerta, Bahasa Jawa Kuno, Bahasa Jawa Madya, Bahasa Bali, Melayu, Arab, Banjar dan juga Bahasa Bugis.

Salah satu yang menarik dalam paparan Profesor Jamal adalah terkait dengan sebuah manuskrip yang sangat tua bernama Sanghyang Kamahayanikan. Sebuah naskah yang disusun oleh  Mpu Shri Sambhara Surya Warama dari Jawa Timur pada abad 10 Masehi.

Pada bagian akhir naskah tersebut tertulis nama Empu Sendok, seorang raja yang bertakhta di Jawa Timur mulai dari tahun 929 sampai tahun 947 setelah kepindahannya dari Jawa Tengah (Mataram Kuno).

Manuskrip tua ini ditemukan pada tahu 1900 di Lombok. Penemuan ini menguatkan dugaan bahwa masyarakat di Pulau Lombok sudah berhubungan dengan masyarakat luar, khususnya Jawa sejak abad ke sepuluh.

Akan tetapi walaupun sejak abad kesepuluh sudah ada hubungan antara Lombok dengan Jawa, penamaan Mataram sebagai satu wilayah di sisi barat Pulau Lombok ini kemungkinan baru terjadi pada abad ke enam belas atau tujuh belas.

Dua versi penamaan Mataram itu diungkapkan oleh Zulhakim. Pertama,  pada pertengahan abad ke enam belas setelah terjadinya proses Islamisasi di Lombok tahun 1505 – 1545 oleh Sunan Prapen yang berasal dari Giri Kedhaton (Gresik, Jawa Timur).

Salah satu yang menyertai kedatangan Sunan Prapen menurut Babad Lombok bernama Patih Mataram, yang kemudian para pengiringnya bermukim dan membangun perkampungan di wilayah yang sekarang berada di sekitar Kampung Monjok dan Majeluk, Kota Mataram.

Perkampungan itulah yang menjadi cikal bakal berdirinya Kota Mataram. Akan tetapi premis ini cukup debatable, karena ternyata kedatangan Sunan Prapen di Lombok terjadi sebelum berdirinya Kerajaan Mataram Islam di Jawa.

Versi kedua menyebutkan bahwa penamaan Kota Mataram dilakukan oleh penguasa dari Karangasem yang berkedudukan di Mataram pada sekitar akhir abad ke tujuh belas. Nama Mataram diambil dari Bahasa Sansekerta yang berarti hiburan untuk ibu.

Dengan beragamnya versi sejarah tersebut, Profesor Jamal memberikan pernyataan yang cukup bijak, bahwa Sejarah Lombok, termasuk Kota Mataram di dalamnya, memang masih harus terus dikaji, dengan prasyarat adanya  kejujuran dan obyektivitas untuk menerimanya sebagai sebuah kenyataan dan pembelajaran dari masa lalu. **

(Mas Bepe)    

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here