Muhammad Amin, tokoh masyarakat Desa Sesela menunjukkan senjata tajam sejenis kelewang yang disebut Batiq Lapah, yang digunakan oleh Amaq Nurisah melawan aparat kolonialisme Belanda yang dikenal dengan peristiwa Amoek Sesela pada tahun 1897.
Muhammad Amin, tokoh masyarakat Desa Sesela menunjukkan senjata tajam sejenis kelewang yang disebut Batiq Lapah, yang digunakan oleh Amaq Nurisah melawan aparat kolonialisme Belanda yang dikenal dengan peristiwa Amoek Sesela pada tahun 1897.

LOMBOK INFO – Hari ini kita memperingati Hari Pahlawan. Salah satu hari bersejarah untuk memperingati semangat kepahlawanan Rakyat Indonesia, khususnya warga masyarakat di Surabaya.

Tepatnya adalah petempuran besar pada tanggal 10 November 1945 antara warga masyarakat Kota Surabaya dan sekitarnya melawan Tentara Sekutu yang diboncengi pasukan Belanda yang berkehendak untuk kembali menancapkan kekuasaan kolonialnya di tanah air tercinta.

Selain pertempuran 10 November di Surabaya, Perang Diponegoro, ada pula cerita rakyat Si Pitung di Betawi yang kita kenal tentang kepahlawanan. Sejatinya, di berbagai daerah juga banyak jejak perjuangan masyarakat, baik pada masa penjajahan maupun pada era mempertahankan kemerdekaan.

Di Lombok pun seperti itu. Sejumlah cerita kepahlawanan juga dikenal di pulau ini. Salah satunya adalah peristiwa di Desa Sesela, Kabupaten Lombok Barat pada tahun 1897 yang oleh kalangan pemerintahan kolonial saat itu dikenal dengan sebutan peristiwa “Amoek Sesela”.

Peristiwa itu tepatnya terjadi di kampung atau dusun yang saat ini bernama Barat Kubur, karena memang terletak di sebelah barat kubur atau pemakaman desa. Dusun ini merupakan pusat pemukiman saat awal mula terbentuknya Desa Sesela di masa silam.

Dihimpun dari berbagai sumber, peristiwa bersejarah di kampung itu terjadi pada tahun 1897 ketika Pulau Lombok belum lama secara langsung menjadi bagian dari kolonialisme Hindia Belanda.

Tepatnya pada Hari Senin tanggal 16 Agustus 1897, ketika dua orang petugas pajak datang ke kampung itu untuk menagih pembayaran pajak.

Saat baru saja memasuki desa, dua orang petugas pajak yang dikawal beberapa orang prajurit diadang seorang laki-laki yang sudah berumur dengan sebilah senjata tajam terhunus di tangannya. Belakangan diketahui laki-laki itu bernama Amaq Nurisah.

Ketika diminta membuang senjatanya, Amaq Nurisah bukannya menyerah tetapi justru menyerang diikuti beberapa orang lainnya yang tiba-tiba muncul. Menghadapi serangan tiba-tiba dari beberapa orang, kedua petugas pajak dengan beberapa pengawalnya itu pun tak mampu mengatasinya.

Salah satu petugas pajak itu tewas di tempat, sementara yang satu lagi terluka parah dan akhirnya pun meninggal setelah dibawa ke rumah sakit di Ampenan.

Tak ayal sore hari itu juga sepasukan tentara termasuk prajurit berkuda dengan senjata lengkap dikirim mengepung Desa Sesela dan meminta warga yang terlibat penyerangan menyerahkan diri.

Di bawah komando Amaq Nurisah yang di pagi hari sebelumnya telah menewaskan 2 orang petugas pajak, sekali lagi warga Desa Sesela melakukan perlawanan. Tetapi dengan cukup mudah dapat dikalahkan dan Amaq Nurisah bersama sekitar 25 orang lainnya meninggal dalam pertempuran singkat itu.

Tidak cukup menewaskan 25 orang warga kampung, para prajurit itu sebelum kembali ke markasnya di Ampenan pun membakar rumah-rumah penduduk yang ada.

Koran-koran baik yang terbit di Batavia maupun di Negeri Belanda sana memberitakan kejadian itu dengan menyebutnya “Amoek Sesela”. (Amoek: kerusuhan)

Kemarahan warga di Desa Sesela itu sebenarnya dipicu oleh pengenaan pajak yang dirasa sangat memberatkan masyarakat, ditambah kebijakan penguasa yang melegalkan perdagangan opium, yang bagi masyarakat muslim di Sesela dan Lombok pada umumnya merupakan barang haram.

Karena pernah dibakar oleh tentara kolonial itu, beberapa waktu sesudahnya kampung itu dikenal dengan sebutan Gubug Kotong (kampung yang terbakar). Tetapi sejak awal tahun 1980an nama Gubug Kotong itu tidak lagi disebut dan berganti menjadi Kampung Barat Kubur.

“Makanya dulu orang-orang menyebut kampung ini Gubug Kotong, maksudnya kampung yang terbakar,” tutur Muhammad Amin, salah satu tetua yang ditemui Lombok Info beberapa waktu lalu.

Kampung Gubug Kotong dan Senjata Batiq Lapah Saksi Heroisme Warga Desa Sesela Melawan Kolonialisme, Lombok Info
Untuk mengabadikan semangat perjuangannya, salah satu gang di Dusun Barat Kubur Desa Sesela dinamai Gang Amaq Nurisah.

Selain berkisah tentang nama kampung, tokoh masyarakat yang merupakan salah satu keturunan Amaq Nurisah itu menunjukkan senjata tajam sejenis kelewang, yang biasa disebut Batiq Lapah.

Muhammad Amin menjelaskan dengan senjata Batiq Lapah itulah Amaq Nurisah membunuh petugas pajak dari penguasa kolonial, dan kemudian juga mengobarkan perlawanan pada tentara yang datang kemudian.

Sementara salah satu warga yang lain bernama Ghazali mengungkapkan rasa bangganya terhadap jejak sejarah leluhurnya.

“Dulu kami malu kalau disebut warga Gubug Kotong, karena penyebutan itu terasa melecehkan. Tapi sekarang setelah tahu sejarah yang sebenarnya, kami bangga jadi warga Gubug Kotong.” ujarnya.

Kemudian untuk mengenang peristiwa bersejarah tersebut, salah satu jalan di tengah kampung yang diyakini dulu menjadi tempat berlangsungnya pertempuran dengan para prajurit kolonial itu dinamai Gang Amaq Nurisah.

Nama Kampung Gubug Kotong memang tidak pernah disebut lagi, akan tetapi Batiq Lapah di tangan Muhammad Amin dan tulisan AMAQ NURISAH pada gapura tua di mulut gang itu menjadi saksi dan bukti heroisme yang pernah ditunjukkan oleh para pendahulu di Kampung Gubug Kotong, Desa Sesela itu.**

Sumber foto: Bambang Parmadi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here