Jalan Saleh Sungkar, salah satu jalan yang menjadi poros penting di Kota Tua Ampenan (Bambang Parmadi)

Lombok Info – Kota Ampenan di Lombok sudah dikenal sejak dahulu oleh masyarakat nusantara. Sebagai kota pelabuhan di masa lalu, tentu saja Ampenan adalah etalase bagi orang yang datang di Lombok.

Di masa sekarang masih bisa kita saksikan sebagian sisa kejayaan Ampenan di masa lalu . Kota ini kemudian populer sebagai kota tua di Lombok. Kota Tua Ampenan.

Salah satu tempat yang banyak mendapat perhatian ketika berbicara tentang Kota Tua Ampenan adalah titik simpang lima Ampenan. Titik ini seperti menjadi episentrum kota. Sebab dari titik simpang itulah berpencar lima arah menuju lima ruas jalan.

Salah satu ruas jalan itu adalah Jalan Saleh Sungkar. Posisi jalan ini sangat penting karena menjadi akses utama lalu lintas kendaraan dari dan ke arah utara kota tua ini. Selanjutnya menuju kawasan wisata Senggigi di Lombok Barat, dan tersambung ke Lombok Utara.
Sebagaimana kota tua, tentu saja banyak jejak sejarah yang menjadi saksi masa silam. Berdiri di sekitar simpang lima Ampenan membuat siapa saja langsung merasakan suasana masa lalu. Setidaknya deretan bangunan tua, sisa keperkasaan sejarah yang pasti menuturkan kisah lama.

Sebelum masuk ruas Jalan Saleh Sungkar, pengendara biasanya berhenti di lampu lalu lintas simpang lima itu. Dari titik ini mata langsung tertuju pada barisan toko dengan bangunan tua. Di mulut Jalan Saleh Sungkar terdapat sebuah bangunan dua lantai, yang saat ini di lantai bawah terdapat toko penjual suku cadang kendaraan.

Dahulu itu adalah sebuah gedung bioskop yang berhenti memutar film di awal 1990-an. Sejak era 1970-an, orang mengenal bangunan bergaya art-deco itu sebagai Bioskop Ramayana. Tapi jauh sebelumnya, pada 1948 bangunan itu sudah menjadi gedung bioskop dengan nama Chung Hua Theatre.

Sebuah iklan di buku telepon, Telefoongids Bali en Lombok, edisi 20 April 1949 memuat Chung Hua Theater yang merupakan jaringan United Cinema Combination wilayah Bali-Lombok.

Meskipun ada catatan lain mengenai bioskop di Ampenan pada 1938. Yakni berita di surat kabar Het Niews Van Den Daag terbitan Batavia edisi Kamis 20 Januari 1938 yang menyebut sebuah bangunan permanen sebagai tempat memutar film. Namun tidak disebutkan lokasi pasti bioskop.

Walaupun sudah tutup tetapi bioskop ini meninggalkan satu warisan yang sampai saat ini masih akrab dengan masyarakat banyak, yaitu Rumah Makan Ramayana. Rumah makan yang sekarang berada sekitar 100 meter dari bangunan bekas bioskop itu dimiliki oleh pengusaha yang dulu mengelola kantin di Bioskop Ramayana.

Dengan beberapa menu andalannya seperti soto ayam, nasi rawon, dan gado-gado setiap hari rumah makan ini selalu ramai dikunjungi para pelanggannya.

Di depan rumah makan yang cukup legendaris itu sekarang terdapat Puskesmas Ampenan. Menurut cerita orang-orang tua di sana, di tanah yang sekarang berdiri Puskesmas itu pada jaman dulu terdapat makam beberapa orang Belanda.

Saat dilakukan pembangunan pondasi bangunan Puskesmas itu pada pertengahan tahun 1980-an masih ditemukan beberapa sisa tulang belulang manusia, yang kemudian dipindahkan atau dikuburkan kembali di makam Kristen yang berada di Jalan Industri.

Masuk gang beberapa meter di sebelah Puskesmas tersebut terdapat satu masjid yang juga sudah cukup tua bernama Masjid Lebai Sandar. Pada prasasti yang menempel pada sisi luar dinding masjid terdapat tulisan tahun 1904.

Menurut masyarakat yang tinggal di sekitar masjid tersebut, tahun 1904 bukanlah tahun pendirian masjid. Akan tetapi merupakan tahun dilakukannya renovasi masjid yang kesekian kalinya. Mereka meyakini bangunan awal masjid ini didirikan sangat lampau ketika mayoritas penduduk di Pulau Lombok masih beragama Hindu, bahkan sebagian belum beragama. Masjid ini didirikan oleh seorang pendakwah dari Sumatera bernama Lebai Sandar. Lebai Sandar juga diyakini sebagai generasi awal penyebar Agama Islam di kota pelabuhan ini.

Kurang lebih 100 meter ke arah utara, di sisi barat jalan terdapat satu makam tua yang dinamakan Makam Dende Seleh. Dende Seleh dalam Bahasa Sasak berarti gadis cantik. Tetapi sampai sekarang cukup sulit ditemukan warga masyarakat yang mengetahui, siapa sebenarnya gadis cantik yang dimakamkan di situ.

Nampaknya perempuan itu dahulu juga tokoh yang cukup penting atau terpandang di tengah-tengah masyarakat, sehingga tidak hanya untuk penyebutan makamnya, bahkan kampung di sekitar makam itu pun disebut sebagai Kampung Dende Seleh.

Makam kecil itu sudah tidak digunakan lagi. Sekarang malah terkenal perempuan paruh baya penjual pisang goreng di trotoar jalan di luar pagar makam. Sejak buka sekitar jam 10 pagi sampai pukul 8 malam, lapak pedagang pisang goreng selalu ramai pembeli. Nampaknya berkah Dende Seleh menaungi penjual pisang goreng itu.

Itulah sebagian gambaran dari ruas Jalan Saleh Sungkar hari ini, dengan berbagai jejak sejarah yang menyatu dengan sejarah Kota Tua Ampenan.**

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here