
Kerajinan bambu adalah seni memanfaatkan bambu sebagai bahan utama untuk menghasilkan barang fungsional dan dekoratif. Bambu yang dikenal kuat dan fleksibel ini diolah menjadi tirai, tikar, keranjang, hingga kap lampu.
Selain bernilai ekonomis, kerajinan bambu juga menjadi simbol pelestarian budaya lokal. Di Gunungsari, Lombok Barat, seni ini terus berkembang dan menjadi sumber penghidupan masyarakat.
Kualitas produk menjadi kunci keberhasilan pengrajin di Gunungsari. Di samping inovasi bentuk kerajinan sesuai tren pasar yang berkembang. Di sisi lain, bambu yang digunakan sebagai bahan baku harus kering dan matang agar produk lebih awet.
“Kepercayaan pelanggan terbangun dari kualitas yang selalu kami jaga,” ujar Saipullah, salah satu pengrajin kepada Lombok Info saat ditemui di artshop-nya baru – baru ini.
Sementara untuk memperluas jangkauan pasar dan meningkatkan penjualannya, pemilik Artshop Mami Bambu Lombok ini juga sudah memanfaatkan kemudahan teknologi. Ia mempromosikan produknya melalui media sosial seperti Facebook, sehingga menarik lebih banyak pelanggan.
“Terasa sekali manfaat media digital ini untuk pemasaran. Banyak pembeli terutama dari luar daerah dan luar negeri yang mengetahui produk saya dari media sosial,” jelas Saipullah.
Hal sama juga dirasakan oleh Ahmad Afandi (50), pemilik UD. Bale Bambu, yang sudah menekuni bisnis ini selama puluhan tahun. Usaha turun-temurun dari orang tuanya ini dikenal dengan produk seperti tirai bambu, tikar rotan, dan kap lampu.
“Bisnis berjalan baik, pelanggan datang dari lokal hingga luar negeri,” katanya. Ahmad juga memanfaatkan penjualan online untuk menjangkau pasar yang lebih luas.
Meski bisnis kerajinan bambu Gunungsari terus berkembang, tantangan tetap ada. Salah satunya adalah produk sejenis dari pabrikan yang lebih murah dan lebih mudah dijumpai di pasar.
Sementara meningkatnya harga bahan baku bambu juga menjadi tantangan lain yang harus dihadapi. Sehingga kreativitas dan inovasi sangat penting dilakukan oleh pengrajin, termasuk menciptakan desain baru, untuk mampu mempertahankan daya tarik produknya.
Ahmad melihat variasi produk sebagai faktor penting yang membuat usahanya stabil. “Inovasi adalah cara kami bertahan di pasar yang kompetitif,” tambahnya.
Saipullah, Ahmad Afandi, dan juga para pengrajin lainnya tetap optimis dengan masa depan kerajinan bambu yang mereka tekuni, terutama dengan meningkatnya permintaan dari sektor pariwisata seperti hotel dan restoran.
Namun di balik semangat dan optimisme tersebut mereka tetap berharap adanya peran pemerintah, seperti pelatihan – pelatihan untuk meningkatkan kemampuan dan ketrampilan pengrajin, dan juga promosi untuk membantu perkembangan usaha mereka.
“Kerajinan bambu adalah warisan yang harus terus dilestarikan dan dibanggakan,” tutup Ahmad.**